Buruh harian
Jika panen datang
Kaulah yang pertama kali senang
Mengapa demikian?
Bukankah kau tak punya ladang
Garapan
oranglah yang kau sandang
Demi sebiji
padi kau rela dikucilkan
Satu-demi
satu kau pungut padi yang terbuang
Sandang pangan tak cukup
tuk dirasakan
Menunggu obral sandang pun harus kau lakukan
Menunggu raskinpun meski kau utamakan
Kau pantas penyandang gelar para pendekar
Pendekar yang
takgetir akan keterpurukan
Nasib buruk
memang menimpa
Namun siapasangka kelak kau akan bahagia
Dari keterbatasan ini
Dunia fana
Dunia tak ubahnya panggung sandiwara
Begitu pujangga menyerunya
Benarkah dunia ini
hanya hiburan semata
Kalau saja iya, pasti benakmu kan terluka
Mbah
Tua bukan ukuran
Kriput bukan pilihan
Pikun bukan cacian
Bongkok bukan nasib sial
Ocehan tetangga
Brisik selalu sama
Gunjingan yang serupa
Membuat lidah
terkulur hendak menjalar
Nerobek mulut yang nista
Siapa saja yang menlengking berbisik padanya
Akan tahu
balasan kepedihan
Hati yang
teriris ,kalbu yang terluka
Akibat
risauan tetangga
Bukan
kebenaran yang mereka sangka
Hingga kemuakan
segera terlaksana
Penyampaian hasrat
api neraka pembakar jiwa
Kau munculkan dengan begitu gampang
Merobek keindahan citra
Citra gadis
desa
Yang pernah
menyandang janda
Kau buatku terlena, tuk pertama kalinya
Hingga tali persaudaraan muncul
Lalu kau hancurkan
Dengan singkat
Dempul putih
Siapa sangka jiwa muda kan datang
Pada nyi purba
Olesan –demi olesan ia ratakan
Tutupi lobang bongkahan
Akibat uzur
Meski ragamu
tak muda
Musuh Terbesarku Adalah Hawa Nafsu
Keringat yang bercucuran akibat teriknya matahari
Tak sedikitpun rasa gentar dirasa
Demi keluarga ia relakan segalanya
Acungan jmepolmemang sudah selayaknya ia terima
Aku malu,
Jika
keringatnya ku balas dengan kemalasan
Yang selalu
menjadi penyakit yang mengacaukan
Ia
mengaharapkan agar nasip tak samamenimpa pada anaknya
Yakni menjadi buruh harian
Janjiku untukmubapak
Kan ku seriuskan niat
Saat menempuh pendidikan